Thursday 28 August 2008

Lepo Lorun di Jakarta Convention Center

Apa pendapat Anda melihat peragawati-peragawati ibukota mengenakan kostum Tenun Ikat rancangan desainer nasional di samping ini? Menurut saya, karya-karya tangan-tangan manusia ini hanya butuh kesempatan lebih banyak baik dari segi produksi maupun promosi. Lihat saja motif dan model pakaian tenun ikat di samping tidak kalah hebat dibandingkan bahan konveksi dari luar negeri sekalipun. Kalau saja sentra-sentra Tenun Ikat Pewarna Alam tumbuh subur dan mendapat perhatian lebih dari pemerintah bukan tidak mungkin menjadi Sentra Industri Kecil yang berkembang dan bisa bersaing. Dampaknya, bukan hanya secara ekonomi tetapi Tenun Ikat akan semakin dikenal secara luas. Ibu Alfonsa Horeng, STP menyadari betul bahwa mengikuti fashion show adalah salah satu sarana promosi yang sangat tepat sehingga Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun yang memproduksi tenun ikat pewarna alam merebut pangsa pasar di negara sendiri. Berikut ini kami suguhkan STILL (Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun) saat mengikuti Fashion Show yang diselenggarakan Desainer Ghea S. Panggabean di Plennary Hall Jakarta Convention Center Jakarta dengan tema Pekan Produk Budaya Indonesia pada 04-08 Juni 2008 yang lalu.


Ibu Alfonsa dan temannya bersama desainer nasional Ghea S. Panggabean. Ghea sangat tertarik dengan Tenun Ikat Maumere yang memiliki motif dan corak yang menarik dan mengajak kerja sama dengan STILL. Beliau bahkan menyediakan showroom buat STILL memajang hasil tenun ikat di studionya.










Lihat selengkapnya...

Monday 25 August 2008

Aneka Motif yang Mempunyai Nilai Legend/Story



















Lihat selengkapnya...

Thursday 21 August 2008

LEPO LORUN IN BERLIN

Kegigihan Alfonsa untuk mengenalkan produk Tenun Ikat binaannya ternyata bukan hanya pada tingkat lokal saja, bahkan di berbagai daerah Indonesia sudah pernah dilakoni seperti di ibukota Jakarta. Hebatnya lagi Alfonsa sudah merambah daratan Eropa antara lain ke Inggris, Jerman, Belanda, Belgia. Ada rasa haru dan bangga melihat antusiasme warga Berlin menyaksikan dari dekat proses pembuatan tenun ikat maumere dengan motif dan corak yang menarik. Berikut ini kami tampilkan foto-foto saat pameran di Berlin, Jerman.


Selamat menikmati suguhan kami...












Lihat selengkapnya...

Wednesday 20 August 2008

Sekilas Proses Pembuatan Tenun Ikat

Dibawah ini adalah beberapa langkah dalam proses pembuatan tenun ikat yang menggunakan pewarna alam di SENTRA INDUSTRI LOKAL “LEPO LORUN” di desa Nita,Kabupaten Sikka.
Proses pembuatan tenun ikat ini adalah dimulai dari memintal benang sampai dengan menghasilkan produk-produk kain tenun ikat dengan berbagai corak dan ragam.Ini adalah sebuah warisan dari para leluhur di Kabupaten Sikka yang dikembangkan dan di lestarikan oleh Ibu Alfonsa dan para mama-mama di desa Nita yang bernaung dibawah SENTRA INDUSTRI LOKAL “LEPO LORUN”.






Memintal Benang




Merentangkan benang pada kayu empat persegi panjang selebar ukuran sarung yang di kehendaki (Go'ang)



Membentuk motif dengan cara mengikat benang dengan daun gebang atau tali tebuk (Pete)





Membentuk motif dengan cara mengikat benang dengan daun gebang atau tali tebuk (Pete)




Hasil pencelupan benang ikatan dengan pewarna alam warna hijau dengan indigo/nila,kunyit dan kulit batang pohon mangga (Ebor/Popo long)




Membuka atau menguraikan serat serat benang yang sudah terlekat bersatu karena diikat dan diberi warna (La'a - Wiha)





Menenun (Loru)



Menenun (Loru)




Hasil dari produk tenun ikat


Lihat selengkapnya...

LEPO LORUN SENTRA TENUN IKAT PEWARNA ALAM

Apa yang mendorongnya untuk terjun ke dalam usaha tenun ikat tradisional dengan zat pewarna alam, tidak lain adalah kepeduliannya untuk melestarikan warisan yang secara perlahan mulai ditinggalkan, sekaligus memberdayakan para perajin tenun ikat tradisional, khususnya gadis-gadis dan ibu-ibu di desa. Berbekal ilmu teknologi pertanian yang diperolehnya dari sebuah perguruan tinggi di Surabaya, Alfonsa Horeng mendirikan Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun di Desa Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka di Palau Flores, NTT.

Dirintis sejak akhir 2003, Lepo Lorun (dalam bahasa Sikka berarti: rumah tenun) pada awalnya merupakan usaha skala rumah tangga dengan 4 orang tenaga kerja dan dana swadaya sebesar
Rp 500.000,- guna membeli bahan baku berupa benang tenun. Sedangkan zat pewarna alam diperoleh secara cuma-cuma dari tanaman pekarangan dan hasil hutan seperti mengkudu, kayu pohon hepang, dadap serep, indigo/nila, loba, kunyit, kulit pohon mangga, kulit pohon nangka, kulit pohon mangga, serbuk kayu mahoni, waher, dan bagian kulit dari batang akar pohon mengkudu. Atau dalam istilah latinnya antara lain indigofera tinctoria, bixa orellana, morinda citrifolia, psidium guajava, artocarpus heterophyllus, curcuma domestica, dan ceriops condolleana.


Motivasi

Alfonsa menuturkan, berdasarkan uji coba dari berbagai bahan nabati untuk diekstrak
pigmennya guna memproduksi warna alam untuk diaplikasikan ke produk tenun, akan menghasilkan suatu produk tenun tradisional yang bernilai tinggi, memiliki keunikan budaya, dan lebih ekonomis serta ramah lingkungan ditinjau dari segi produksi hingga pemasaran. Itulah sebabnya produk tenun yang mengandung zat pewarna alam dalam bentuk fresh mau pun simplisia ini diminati oleh para kolektor sampai ke mancanegara. "Hal ini semakin banyak mendorong keterlibatan para perajin lokal karena selama ini hasil tenunan mereka hanya bisa dimanfaatkan dalam ruang kebutuhan yang sangat terbatas," tutur gadis kelahiran 1 Agustus 1974 ini penuh semangat.

Melalui sentra Lepo Lorun, katanya, kemampuan dasar yang dimiliki para perajin tenun ikat di desa dapat dikembangkan menjadi lebih baik, meskipun hanya menggunakan bahan baku seadanya. Mereka dapat dilatih untuk menciptakan tenun ikat dengan kreasi yang lebih kaya dan bermotif lebih dinamis. Setidaknya, lewat Lepo Lorun yang secara resmi berdiri pada 24 Mei 2004, produk kerajinan yang dihasilkannya semakin dikenal di luar daerah.

Menurut Alfonsa, motivasi kelompok wanita perajin tenun ikat tradisional yang tergabung dalam sentra Lepo Lorun adalah untuk mempertahankan budaya yang sudah turun-temurun diwariskan oleh leluhur. Dengan motto "berpikir global, bertindak lokal," maka melalui tangan-tangan para perajin, keaslian budaya tetap dipertahankan. Motto ini pula yang mendorong para anggota sentra Lepo Lorun untuk terus bergiat mengembangkan hasil produksi dan memperluas jaringan kerja dengan berbagai pihak.

Salah satu prestasi yang telah diraih Alfonsa bersama sentra Lepo Lorunnya adalah juara kedua tingkat nasional pada kegiatan Pertukaran Pemuda Antar Provinsi (PPAP) di Jakarta, Oktober 2005. Dalam ajang yang diikuti I .024 pemuda berprestasi dari seluruh provinsi itu, sentra Lepo Lorun yang mewakili NTT berhasil meraih peringkat kedua dalam kategori lomba pembuatan tekstil tradisional. Hingga kini Lepo Lorun telah mengikuti berbagai kegiatan berskala nasional di Jakarta, antara lain Pekan Raya Jakarta, Pameran Produk Ekspor, Expo INKRA/DEKRANAS, Expo SMESCO, Expo Invesda, Expo KADIN, dan sejumlah expo lokal di NTT.

Pemasaran

Diakui Alfonsa, kendati telah mengikuti beberapa pameran berskala nasional, pasaran bagi produk tenun ikat yang dihasilkannya masih sangat terbatas. Karena itu yang harus digencarkan adalah memperlebar jaringan pemasaran dan pengenalan ke berbagai sentra produksi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Suatu upaya yang telah dilakukan adalah menggunakan satu etalase di Bandara Waioti Maumere untuk memajang dan menjual produk kerajinan yang dibuat dari bahan tenun ikat tradisional. Antara lain barang-barang suvenir berupa dompet, aneka tas, sarung handphone, rompi, dan selendang, yang harganya berkisar antara Rp 25.000,- sampai Rp 100.000,- serta sarung tenun ikat dengan berbagai motif daerah yang lebih dinamis seharga Rp 250.000,- sampai Rp 400.000,-/lembar.

Dari pengalamannya bersama para perajin di desa-desa, Alfonsa mengatakan, proses pembuatan tenun ikat dengan zat pewarna alam ini memakan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan menggunakan pewarna sintetis (naphtol). "Karena harus melewati beberapa tahap agar dapat menghasilkan warna yang diinginkan dengan kualitas yang baik," ujar lulusan sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian Unika Wdya Mandala Surabaya.

Alfonsa juga mengakui hambatan yang dihadapinya yakni terbatasnya jumlah para perajin generasi muda yang memahami teknik pewarnaan dengan bahan-bahan alam karena umumnya mereka sudah terbiasa menggunakan warna-warn sintetik. Selain itu, bahan-bahan pewarm alam yang dibutuhkan umumnya diambil dari tanaman yang tumbuh liar di pekarangan atau hutan ladang, dan belum dibudidayakan dalam satu lokasi perkebunan yang dikelola secara khusus.

Proses atau langkah pembuatan warna alam sebagai berikut: pertama, benan katun yang sudah diikat motifnya direndam dalam air yang netral (ph netral) selama 24 jam, lalu diangin-anginkan untuk
ditegangkan. Kedua, setelah setengah kering, benang hasil rendaman itu dicelup ke dalam pembangkit warna (FeSO4), kemudian dikeringkan lagi. Ketiga, benang yang sudah kering itu dicelup ke dalam pewarna yang diinginkan (lebih dari 5 kali) sehingga tidak luntur (warna betul-betul pekat). Keempat, diberi penguat warna (untuk mengunci agar tidak luntur).

Pola Inti dan Plasma

Sejalan dengan perluasan sosialisasi pola inti dan plasma ke desa-desa sekitar, keanggotaan Lepo Lorun saat ini terdiri dari 10 anggota inti dan 84 anggota plasma yang tersebar di sejumlah desa yakni Desa Nita, Nitakloang, Tebuk, Lela, Tilang, Riit dan Wolokoli. Sentra (inti) terpusat di Desa Nita, berfungsi memberikan bahan baku, informasi, dan pemasaran kepada 6 cabang sentra (plasma) di desa-desa. Setiap desa memiliki kekhususan dalam hal sumber atau asal pewarna alam. Desa Wolokoli menggunakan mengkudu dan indigo (untuk pewarna tekstil merah dan biru), Desa Riit menggunakan kulit kayu merah dan hepang (untuk pewarna merah pada kain), Desa Tebuk dan Desa Nita memafaatkan kulit pohon mangga dan kunyit, serta indigo (hijau, biru, coklat tanah bila indigo dicampur mengkudu). Sementara tiga desa lainnya menghasilkan pewarna dan kayu hepang dan dadap serep.

Untuk mengembangkan pola kerja intiplasma tersebut, sentra Lepo Lorun mendapat dukungan dan fasilitasi dari kantor Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sikka, termasuk Dekranasda setempat serta beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bantuan yang diperoleh antara lain 150 bal benang tenun, 9 set alat tenun bukan mesin, dan 16 mesin jahit untuk memproduksi barang-barang suvenir. "Alat-alat produksi seperti panci, wajan, blender dan lain-lain sangat dibutuhkan para perajin yang selama ini bekerja menggunakan alat-alat seadanya," ujar Alfonsa.

(Teks/Foto: Phillip Gobang & Avanti Fontana)
Lihat selengkapnya...
 

blogger templates | Make Money Online