Apa yang mendorongnya untuk terjun ke dalam usaha tenun ikat tradisional dengan zat pewarna alam, tidak lain adalah kepeduliannya untuk melestarikan warisan yang secara perlahan mulai ditinggalkan, sekaligus memberdayakan para perajin tenun ikat tradisional, khususnya gadis-gadis dan ibu-ibu di desa. Berbekal ilmu teknologi pertanian yang diperolehnya dari sebuah perguruan tinggi di Surabaya, Alfonsa Horeng mendirikan Sentra Tenun Ikat Lepo Lorun di Desa Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka di Palau Flores, NTT.
Dirintis sejak akhir 2003, Lepo Lorun (dalam bahasa Sikka berarti: rumah tenun) pada awalnya merupakan usaha skala rumah tangga dengan 4 orang tenaga kerja dan dana swadaya sebesar
Rp 500.000,- guna membeli bahan baku berupa benang tenun. Sedangkan zat pewarna alam diperoleh secara cuma-cuma dari tanaman pekarangan dan hasil hutan seperti mengkudu, kayu pohon hepang, dadap serep, indigo/nila, loba, kunyit, kulit pohon mangga, kulit pohon nangka, kulit pohon mangga, serbuk kayu mahoni, waher, dan bagian kulit dari batang akar pohon mengkudu. Atau dalam istilah latinnya antara lain indigofera tinctoria, bixa orellana, morinda citrifolia, psidium guajava, artocarpus heterophyllus, curcuma domestica, dan ceriops condolleana.
Alfonsa menuturkan, berdasarkan uji coba dari berbagai bahan nabati untuk diekstrak
pigmennya guna memproduksi warna alam untuk diaplikasikan ke produk tenun, akan menghasilkan suatu produk tenun tradisional yang bernilai tinggi, memiliki keunikan budaya, dan lebih ekonomis serta ramah lingkungan ditinjau dari segi produksi hingga pemasaran. Itulah sebabnya produk tenun yang mengandung zat pewarna alam dalam bentuk fresh mau pun simplisia ini diminati oleh para kolektor sampai ke mancanegara. "Hal ini semakin banyak mendorong keterlibatan para perajin lokal karena selama ini hasil tenunan mereka hanya bisa dimanfaatkan dalam ruang kebutuhan yang sangat terbatas," tutur gadis kelahiran 1 Agustus 1974 ini penuh semangat.
Melalui sentra Lepo Lorun, katanya, kemampuan dasar yang dimiliki para perajin tenun ikat di desa dapat dikembangkan menjadi lebih baik, meskipun hanya menggunakan bahan baku seadanya. Mereka dapat dilatih untuk menciptakan tenun ikat dengan kreasi yang lebih kaya dan bermotif lebih dinamis. Setidaknya, lewat Lepo Lorun yang secara resmi berdiri pada 24 Mei 2004, produk kerajinan yang dihasilkannya semakin dikenal di luar daerah.
Menurut Alfonsa, motivasi kelompok wanita perajin tenun ikat tradisional yang tergabung dalam sentra Lepo Lorun adalah untuk mempertahankan budaya yang sudah turun-temurun diwariskan oleh leluhur. Dengan motto "berpikir global, bertindak lokal," maka melalui tangan-tangan para perajin, keaslian budaya tetap dipertahankan. Motto ini pula yang mendorong para anggota sentra Lepo Lorun untuk terus bergiat mengembangkan hasil produksi dan memperluas jaringan kerja dengan berbagai pihak.
Salah satu prestasi yang telah diraih Alfonsa bersama sentra Lepo Lorunnya adalah juara kedua tingkat nasional pada kegiatan Pertukaran Pemuda Antar Provinsi (PPAP) di Jakarta, Oktober 2005. Dalam ajang yang diikuti I .024 pemuda berprestasi dari seluruh provinsi itu, sentra Lepo Lorun yang mewakili NTT berhasil meraih peringkat kedua dalam kategori lomba pembuatan tekstil tradisional. Hingga kini Lepo Lorun telah mengikuti berbagai kegiatan berskala nasional di Jakarta, antara lain Pekan Raya Jakarta, Pameran Produk Ekspor, Expo INKRA/DEKRANAS, Expo SMESCO, Expo Invesda, Expo KADIN, dan sejumlah expo lokal di NTT.
Diakui Alfonsa, kendati telah mengikuti beberapa pameran berskala nasional, pasaran bagi produk tenun ikat yang dihasilkannya masih sangat terbatas. Karena itu yang harus digencarkan adalah memperlebar jaringan pemasaran dan pengenalan ke berbagai sentra produksi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Suatu upaya yang telah dilakukan adalah menggunakan satu etalase di Bandara Waioti Maumere untuk memajang dan menjual produk kerajinan yang dibuat dari bahan tenun ikat tradisional. Antara lain barang-barang suvenir berupa dompet, aneka tas, sarung handphone, rompi, dan selendang, yang harganya berkisar antara Rp 25.000,- sampai Rp 100.000,- serta sarung tenun ikat dengan berbagai motif daerah yang lebih dinamis seharga Rp 250.000,- sampai Rp 400.000,-/lembar.
Dari pengalamannya bersama para perajin di desa-desa, Alfonsa mengatakan, proses pembuatan tenun ikat dengan zat pewarna alam ini memakan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan menggunakan pewarna sintetis (naphtol). "Karena harus melewati beberapa tahap agar dapat menghasilkan warna yang diinginkan dengan kualitas yang baik," ujar lulusan sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian Unika Wdya Mandala Surabaya.
Alfonsa juga mengakui hambatan yang dihadapinya yakni terbatasnya jumlah para perajin generasi muda yang memahami teknik pewarnaan dengan bahan-bahan alam karena umumnya mereka sudah terbiasa menggunakan warna-warn sintetik. Selain itu, bahan-bahan pewarm alam yang dibutuhkan umumnya diambil dari tanaman yang tumbuh liar di pekarangan atau hutan ladang, dan belum dibudidayakan dalam satu lokasi perkebunan yang dikelola secara khusus.
Proses atau langkah pembuatan warna alam sebagai berikut: pertama, benan katun yang sudah diikat motifnya direndam dalam air yang netral (ph netral) selama 24 jam, lalu diangin-anginkan untuk
ditegangkan. Kedua, setelah setengah kering, benang hasil rendaman itu dicelup ke dalam pembangkit warna (FeSO4), kemudian dikeringkan lagi. Ketiga, benang yang sudah kering itu dicelup ke dalam pewarna yang diinginkan (lebih dari 5 kali) sehingga tidak luntur (warna betul-betul pekat). Keempat, diberi penguat warna (untuk mengunci agar tidak luntur).
Sejalan dengan perluasan sosialisasi pola inti dan plasma ke desa-desa sekitar, keanggotaan Lepo Lorun saat ini terdiri dari 10 anggota inti dan 84 anggota plasma yang tersebar di sejumlah desa yakni Desa Nita, Nitakloang, Tebuk, Lela, Tilang, Riit dan Wolokoli. Sentra (inti) terpusat di Desa Nita, berfungsi memberikan bahan baku, informasi, dan pemasaran kepada 6 cabang sentra (plasma) di desa-desa. Setiap desa memiliki kekhususan dalam hal sumber atau asal pewarna alam. Desa Wolokoli menggunakan mengkudu dan indigo (untuk pewarna tekstil merah dan biru), Desa Riit menggunakan kulit kayu merah dan hepang (untuk pewarna merah pada kain), Desa Tebuk dan Desa Nita memafaatkan kulit pohon mangga dan kunyit, serta indigo (hijau, biru, coklat tanah bila indigo dicampur mengkudu). Sementara tiga desa lainnya menghasilkan pewarna dan kayu hepang dan dadap serep.
Untuk mengembangkan pola kerja intiplasma tersebut, sentra Lepo Lorun mendapat dukungan dan fasilitasi dari kantor Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sikka, termasuk Dekranasda setempat serta beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bantuan yang diperoleh antara lain 150 bal benang tenun, 9 set alat tenun bukan mesin, dan 16 mesin jahit untuk memproduksi barang-barang suvenir. "Alat-alat produksi seperti panci, wajan, blender dan lain-lain sangat dibutuhkan para perajin yang selama ini bekerja menggunakan alat-alat seadanya," ujar Alfonsa.
(Teks/Foto: Phillip Gobang & Avanti Fontana)
Dirintis sejak akhir 2003, Lepo Lorun (dalam bahasa Sikka berarti: rumah tenun) pada awalnya merupakan usaha skala rumah tangga dengan 4 orang tenaga kerja dan dana swadaya sebesar
Rp 500.000,- guna membeli bahan baku berupa benang tenun. Sedangkan zat pewarna alam diperoleh secara cuma-cuma dari tanaman pekarangan dan hasil hutan seperti mengkudu, kayu pohon hepang, dadap serep, indigo/nila, loba, kunyit, kulit pohon mangga, kulit pohon nangka, kulit pohon mangga, serbuk kayu mahoni, waher, dan bagian kulit dari batang akar pohon mengkudu. Atau dalam istilah latinnya antara lain indigofera tinctoria, bixa orellana, morinda citrifolia, psidium guajava, artocarpus heterophyllus, curcuma domestica, dan ceriops condolleana.
Motivasi
Alfonsa menuturkan, berdasarkan uji coba dari berbagai bahan nabati untuk diekstrak
pigmennya guna memproduksi warna alam untuk diaplikasikan ke produk tenun, akan menghasilkan suatu produk tenun tradisional yang bernilai tinggi, memiliki keunikan budaya, dan lebih ekonomis serta ramah lingkungan ditinjau dari segi produksi hingga pemasaran. Itulah sebabnya produk tenun yang mengandung zat pewarna alam dalam bentuk fresh mau pun simplisia ini diminati oleh para kolektor sampai ke mancanegara. "Hal ini semakin banyak mendorong keterlibatan para perajin lokal karena selama ini hasil tenunan mereka hanya bisa dimanfaatkan dalam ruang kebutuhan yang sangat terbatas," tutur gadis kelahiran 1 Agustus 1974 ini penuh semangat.
Melalui sentra Lepo Lorun, katanya, kemampuan dasar yang dimiliki para perajin tenun ikat di desa dapat dikembangkan menjadi lebih baik, meskipun hanya menggunakan bahan baku seadanya. Mereka dapat dilatih untuk menciptakan tenun ikat dengan kreasi yang lebih kaya dan bermotif lebih dinamis. Setidaknya, lewat Lepo Lorun yang secara resmi berdiri pada 24 Mei 2004, produk kerajinan yang dihasilkannya semakin dikenal di luar daerah.
Menurut Alfonsa, motivasi kelompok wanita perajin tenun ikat tradisional yang tergabung dalam sentra Lepo Lorun adalah untuk mempertahankan budaya yang sudah turun-temurun diwariskan oleh leluhur. Dengan motto "berpikir global, bertindak lokal," maka melalui tangan-tangan para perajin, keaslian budaya tetap dipertahankan. Motto ini pula yang mendorong para anggota sentra Lepo Lorun untuk terus bergiat mengembangkan hasil produksi dan memperluas jaringan kerja dengan berbagai pihak.
Salah satu prestasi yang telah diraih Alfonsa bersama sentra Lepo Lorunnya adalah juara kedua tingkat nasional pada kegiatan Pertukaran Pemuda Antar Provinsi (PPAP) di Jakarta, Oktober 2005. Dalam ajang yang diikuti I .024 pemuda berprestasi dari seluruh provinsi itu, sentra Lepo Lorun yang mewakili NTT berhasil meraih peringkat kedua dalam kategori lomba pembuatan tekstil tradisional. Hingga kini Lepo Lorun telah mengikuti berbagai kegiatan berskala nasional di Jakarta, antara lain Pekan Raya Jakarta, Pameran Produk Ekspor, Expo INKRA/DEKRANAS, Expo SMESCO, Expo Invesda, Expo KADIN, dan sejumlah expo lokal di NTT.
Pemasaran
Diakui Alfonsa, kendati telah mengikuti beberapa pameran berskala nasional, pasaran bagi produk tenun ikat yang dihasilkannya masih sangat terbatas. Karena itu yang harus digencarkan adalah memperlebar jaringan pemasaran dan pengenalan ke berbagai sentra produksi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Suatu upaya yang telah dilakukan adalah menggunakan satu etalase di Bandara Waioti Maumere untuk memajang dan menjual produk kerajinan yang dibuat dari bahan tenun ikat tradisional. Antara lain barang-barang suvenir berupa dompet, aneka tas, sarung handphone, rompi, dan selendang, yang harganya berkisar antara Rp 25.000,- sampai Rp 100.000,- serta sarung tenun ikat dengan berbagai motif daerah yang lebih dinamis seharga Rp 250.000,- sampai Rp 400.000,-/lembar.
Dari pengalamannya bersama para perajin di desa-desa, Alfonsa mengatakan, proses pembuatan tenun ikat dengan zat pewarna alam ini memakan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan menggunakan pewarna sintetis (naphtol). "Karena harus melewati beberapa tahap agar dapat menghasilkan warna yang diinginkan dengan kualitas yang baik," ujar lulusan sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian Unika Wdya Mandala Surabaya.
Alfonsa juga mengakui hambatan yang dihadapinya yakni terbatasnya jumlah para perajin generasi muda yang memahami teknik pewarnaan dengan bahan-bahan alam karena umumnya mereka sudah terbiasa menggunakan warna-warn sintetik. Selain itu, bahan-bahan pewarm alam yang dibutuhkan umumnya diambil dari tanaman yang tumbuh liar di pekarangan atau hutan ladang, dan belum dibudidayakan dalam satu lokasi perkebunan yang dikelola secara khusus.
Proses atau langkah pembuatan warna alam sebagai berikut: pertama, benan katun yang sudah diikat motifnya direndam dalam air yang netral (ph netral) selama 24 jam, lalu diangin-anginkan untuk
ditegangkan. Kedua, setelah setengah kering, benang hasil rendaman itu dicelup ke dalam pembangkit warna (FeSO4), kemudian dikeringkan lagi. Ketiga, benang yang sudah kering itu dicelup ke dalam pewarna yang diinginkan (lebih dari 5 kali) sehingga tidak luntur (warna betul-betul pekat). Keempat, diberi penguat warna (untuk mengunci agar tidak luntur).
Pola Inti dan Plasma
Sejalan dengan perluasan sosialisasi pola inti dan plasma ke desa-desa sekitar, keanggotaan Lepo Lorun saat ini terdiri dari 10 anggota inti dan 84 anggota plasma yang tersebar di sejumlah desa yakni Desa Nita, Nitakloang, Tebuk, Lela, Tilang, Riit dan Wolokoli. Sentra (inti) terpusat di Desa Nita, berfungsi memberikan bahan baku, informasi, dan pemasaran kepada 6 cabang sentra (plasma) di desa-desa. Setiap desa memiliki kekhususan dalam hal sumber atau asal pewarna alam. Desa Wolokoli menggunakan mengkudu dan indigo (untuk pewarna tekstil merah dan biru), Desa Riit menggunakan kulit kayu merah dan hepang (untuk pewarna merah pada kain), Desa Tebuk dan Desa Nita memafaatkan kulit pohon mangga dan kunyit, serta indigo (hijau, biru, coklat tanah bila indigo dicampur mengkudu). Sementara tiga desa lainnya menghasilkan pewarna dan kayu hepang dan dadap serep.
Untuk mengembangkan pola kerja intiplasma tersebut, sentra Lepo Lorun mendapat dukungan dan fasilitasi dari kantor Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sikka, termasuk Dekranasda setempat serta beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bantuan yang diperoleh antara lain 150 bal benang tenun, 9 set alat tenun bukan mesin, dan 16 mesin jahit untuk memproduksi barang-barang suvenir. "Alat-alat produksi seperti panci, wajan, blender dan lain-lain sangat dibutuhkan para perajin yang selama ini bekerja menggunakan alat-alat seadanya," ujar Alfonsa.
(Teks/Foto: Phillip Gobang & Avanti Fontana)